Laman

Tampilkan postingan dengan label wacana pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wacana pendidikan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 November 2016

Hari Guru untuk Semua yang Guru

Riwayat Singkat Hari Guru

Pada tahun 1912 lahir organisasi Guru bernama Persatuan Guru Hindia Belanda. Seiring makin kuatnya dorongan untuk merdeka pada diri Bangsa Indonesia maka pada tahun 1932 organisasi ini berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia (24-25 November 1945) PGI melaksanakan kongres di Surakarta. Kongres ini mengikrarkan dukungan atas NKRI sekaligus mengubah nama PGI menjadi PGRI.
Peserta peringatan Hari Guru di Jatirogo Tuban

Tanggal 25 November 1945 terdapat dua hal penting terkait profesi Guru. Pertama, pada saat itu lahir organisasi para Guru bernama PGRI. Kedua, Guru sebagai sebuah identitas profesi atau pilihan jalan hidup, telah memberi sumbangan yang besar bagi lahir dan tegaknya NKRI. Selanjutnya lewat Kepres No. 78 tahun 1994 tanggal lahirnya PGRI ini ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional.

Jumat, 15 Juli 2016

Selamat Tinggal Tradisi Penistaan Siswa Baru!

Tradisi perpeloncoan sudah lama berlangsung di dunia Pendidikan kita. Perpeloncoan terjadi dalam kegiatan resmi dengan nama MOS (Masa Orientasi Siswa) bagi siswa baru. Ironi memang kegiatan yang sebenarnya adalah ajang pengenalan siswa baru pada lingkungan dan warga sekolah ternyata dengan sadar disisipi praktik-praktik yang jauh dari nilai edukatif.

Praktik perpeloncoan sering dilakukan oleh siswa senior yang dilibatkan dalam kegiatan MOS. Para siswa senior beralasan praktik-praktik seperti itu dilakukan untuk menciptakan suasana akrab antara senior dengan yunior. Meski sering mendapat kritik dan koreksi terhadap praktik perpeloncoan ini namun pihak sekolah seperti tidak pernah menggubris.

Minggu, 29 Mei 2016

Menakar Tradisi Intelektual Siswa Kita

Dalam Agama Islam wahyu yang turun pertama berbunyi “bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu”. Wahyu ini memberi nuansa pentingnya aspek intelektual dalam kehidupan berkeyakinan. Dalam Agama Kristen disebutkan “Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”. Dengan demikian Yesus memperoleh kebijaksanaan lewat proses belajar (kerja intelektual) meski Ia diyakini sebagai  Anak (pengejawantahan Sabda dan kuasa) Tuhan.

Dalam budaya Jawa ada tembang pucung yang mengatakan bahwa : “ngelmu iku tinemune kanthi laku” Jadi dalam tradisi intelektual Jawa ilmu pengetahuan akan dapat dipahami dan menjadi bermakna jika ada proses empiris. Ilmu bukan diperoleh dengan membaca kemudian dihafal, mendengar kemudian dihafal, tetapi ada proses mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengasosiasi dan menyimpulkan bahkan menguji kembali simpulan.

Lalu apa hubungan semua ini dengan judul diatas? Tradisi intelektual adalah roh dari peradaban manusia. Tradisi intelektual menjadi dasar dalam dunia religius maupun dalam dunia ilmu pengetahuan. Dalam dunia pendidikan tradisi intelektual diwujudkan dalam pembelajaran yang berbasis saintifik yang meliputi : mengamati, mertannya, mengumpulkan data, mengasosiasi dan mengkomunikasikan.

Ada beberapa pertanyaan menarik terkait intelektualitas siswa-siswi kita. Sudahkah dunia pendidikan berhasil menanamkan tradisi intelektual pada diri para siswa? Sejauhmana tradisi intelektual sudah tumbuh dan diimplementasikan oleh anak didik kita?

Untuk menjawab pertanyaan di atas cukup kita mengamati kebiasaan siswa-siswi kita. Apakah mereka sudah menjadi pembaca yang baik? Apakah mereka sudah menjadi penulis yang handal? Apakah mereka sudah menjadi pendiskusi yang kritis. Apakah mereka sudah menjadi kreator yang kreatif? Apakah mereka sudah beretika (beradab)?


Jika tradisi intelektual sudah tumbuh baik pada diri remaja kita maka tak akan muncul kejadian yang memalukan seperti ini! Berprilaku bodoh, tidak tahu etika, konyol dan kekanak-kanakan.

                                                                           bodoh

                                                                     tak tahu etika

                                                                     kekanak-kanakan

Jumat, 25 Maret 2016

Ketika Kethoprak Menjadi Bagian Pembelajaran

Pada ujian praktik pelajaran Bahasa Jawa kali ini, SMPN 1 Jatirogo menetapkan kethoprak sebagai materi uji. Kesenian teater tradisional Jawa ini dipilih sebagai materi ujian praktik kelas sembilan karena berbagai alasan. (1) untuk mengukur ketrampilan siswa dalam berbahasa Jawa (2) untuk mengembangkan kemampuan kerjasama karena materi kethoprak ini dilakukan secara kelompok (3) mendorong generasi muda untuk mengenal dan cinta pada kesenian kethoprak yang sudah mulai tergerus oleh jaman.

Ditengah tuduhan bahwa generasi muda sudah tidak mengenal budaya tradisional, siswa-siswi SMPN 1 Jatirogo justru menunjukkan fakta yang sebaliknya. Kethoprak sebagai materi  ujian praktik oleh mereka dikerjakan dengan sugguh-sungguh. Mereka mempersiapkan naskah cerita, mematangkan latihan, menyusun irama musik merancang tata rias sampai merancang tata panggung dan perlengkapannya.

Selasa, 12 Januari 2016

Program Sedekah Sampah SMPN 1 Jatirogo 2016

Sampah semakin tahun semakin menjadi masalah lingkungan dan sosial yang mengkhawatirkan. Satu sisi setiap aktifitas manusia menghasilkan sampah, sisi yang lain keberadaan sampah mengganggu kehidupan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun mayarakat yang peduli, tetapi problem sampah belum juga teratasi.

Lembaga pendidikan punya peran yang strategis dalam menciptakan budaya sadar dan peduli sampah. Penanganan sampah ke depan akan lebih baik jika generasi mudanya dididik untuk untuk sadar sampah dan dibiasakan dalam pengelolaan sampah pada lembaga pendidikan. Oleh karena itu SMPN 1 Jatirogo merasa perlu meningkatan sadar sampah pada siswa dalam bentuk pengelolaan sampah dengan nama “SEDEKAH UWUH”