Jika diamati
kesenian Jawa tradisonal atau klasik dapat dingolongkan setidaknya dalam tiga
kelompok. Kesenian yang berakar dari budaya Hindu; Kesenian yang berakar dari
budaya lokal misalnya Panji dan kesenian
yang terpengaruh budaya Timur Tengah yang biasa disebut Menak. Bentuk seni tontonan
yang berakar dari budaya Hindu contohnya adalah wayang kulit. Seni yang berakar
cerita panji diantaranya adalah Reog,
Jepaplok (Barongan), Wayang gedog, wayang krucil dan cerita rakyat Ande-ande
Lumut maupun Keong Emas.
Foto bersama Mas Toyib warga Ngeblek penganut Budha
Cerita panji
ruang lingkupnya adalah jaman Kerajaan Jenggala dan Kediri (Panjalu). Cerita lakon
panji ini berhubungan dengan tokoh-tokoh nyata dalam sejarah Jawa (terutama
Jawa Timur). Tokoh Panji Asmarabangun dihubungkan dengan tokoh nyata Sri
Kamesywara, raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1180 hingga 1190-an.
Tokoh Galuh Candrakirana dihubungkan dengan tokoh nyata Permaisuri raja Sri
Kamesywara yang bernama Sri Kirana seorang puteri dari Jenggala.
Papan penunjuk arah ke Desa Ngeblek
Beberapa
sumber menyebutkan bahwa cerita Ande Ande Lumut lahir saat jaman Majapahit. Pendapat ini mengacu pada bukti adanya tokoh dan cerita panji pada relief candi candi Jawa Timuran
era Majapahit. Meski cerita panji sudah ada pada era Majapahit tetapi apakah cerita rakyat Ande Ande Lumut yang
merupakan lingkup (varian) cerita Panji ini munculnya juga di jaman Majapahit? Penulis
menemukan sumber yang memberi penjelasan berbeda tentang lahirnya cerita
rakyat Ande-ande Lumut.
Balai Desa dan Masjid Ngeblek
Dalam Kitab
Badra Santi pada sub-Cerita Lasem (Babad Lasem) halaman 22 tertulis : Ing
wektu kuwi wong-wong dhukuh Ngeblek seneng nggawe tontonlangen Emprak, kang
dipandhegani dening tilas kepala brandhal ing dhukuh Lowah arane Ki Guntur.
Sarehne sipate tontonan Emprak kuwi mung badhutan lan sesembiran kang banget
mranani, mula R.P.A.A. Tejakusuma IV banjur melu cawe-cawe. Ki Guntur diajak
ngowahi digawe lakon crita Panji Kedhiri, dadi diwuwuhi sifat kratonan kang
nyeyontoni bab unggah-ungguh Kasusilan. Owah-owahan mau aran “Andhe-andhe
Lumut”.
Terjemahan
kurang lebih sebagai berikut : Saat itu orang-orang dukuh Ngeblek suka
mementaskan pertunjukan seni Emprak, yang diprakarsai oleh bekas kepala brandal
(pemberontak kompeni Belanda) dari dukuh Lowah bernama Ki Guntur. Karena sifat
pertunjukan Emprak itu hanya banyolan dan berbalas olok/guyon yang menarik,
maka R.P.A.A. Tejakusuma IV lalu ikut menyumbang gagasan. Ki Guntur diajak
merubah bentuk tontonan berbasis cerita Panji Kediri, memasukkan unsur kraton
yang memberi pesan tentang tata susila. Perubahan isi pertunjukan tadi diberi
nama “Andhe-andhe Lumut”.
Panorama sisi timur dari jalan Desa Ngeblek
Saat itu Kesultanan Mataram dipimpin oleh Sunan Amangkurat II. Sunan Amangkurat II bersekutu dengan kompeni Belanda sehingga sangat dibenci rakyatnya. Rakyat Lasem dibawah adipati Tejakusuma IV melakukan perlawanan. Para pelaku perlawanan ini umumnya adalah penganut Budha yang berpegang Kitab Badra Santi. Pelaku pemberontakan ini biasa disebut dengan istilah Brandal Lasem.
Watu Congol ruas rute jalan menuju/keluar Desa Ngeblek
Pelaku
pemberontakan terdiri dari kerabat penguasa kadipaten Lasem, rakyat Lasem, Cina
Lasem dan masyarakat keturunan Champa di Lasem. Para brandal berkumpul dan
bersembunyi di suatu daerah tersembunyi lereng gunung Argopura Lasem. Daerah
itu bernama dukuh Ngeblek. Untuk menghibur diri para gerilyawan ini membuat
seni tontonan yang bersifat spontan, lugas, sederhana dan menghibur. Seni yang
semula bernama Empak ini setelah mendapat sentuhan dari R.P.A.A. Tejakusuma IV kemudian berubah
menjadi Ande-ande Lumut seperti ditulis dalam Kitab Budha Badra Santi
Panorama sisi selatan dari rute jalan menuju/keluar Desa Ngeblek
Bagi yang penasaran mengunjungi Desa Ngeblek sangat disarankan terampil berkendara karena karakter jalan yang menanjak terjal, menurun curam menikung dan bersisian dengan jurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar