Laman

Rabu, 28 Juni 2017

Brandal Lasem, Desa Ngeblek dan Ande-ande Lumut

Jika diamati kesenian Jawa tradisonal atau klasik dapat dingolongkan setidaknya dalam tiga kelompok. Kesenian yang berakar dari budaya Hindu; Kesenian yang berakar dari budaya lokal misalnya Panji  dan kesenian yang terpengaruh budaya Timur Tengah yang biasa disebut Menak. Bentuk seni tontonan yang berakar dari budaya Hindu contohnya adalah wayang kulit. Seni yang berakar cerita panji diantaranya adalah  Reog, Jepaplok (Barongan), Wayang gedog, wayang krucil dan cerita rakyat Ande-ande Lumut maupun Keong Emas.
Foto bersama Mas Toyib warga Ngeblek penganut Budha


Cerita panji ruang lingkupnya adalah jaman Kerajaan Jenggala dan Kediri (Panjalu). Cerita lakon panji ini berhubungan dengan tokoh-tokoh nyata dalam sejarah Jawa (terutama Jawa Timur). Tokoh Panji Asmarabangun dihubungkan dengan tokoh nyata Sri Kamesywara, raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1180 hingga 1190-an. Tokoh Galuh Candrakirana dihubungkan dengan tokoh nyata Permaisuri raja Sri Kamesywara yang bernama Sri Kirana seorang puteri dari Jenggala.

Papan penunjuk arah ke Desa Ngeblek

Beberapa sumber menyebutkan bahwa cerita Ande Ande Lumut lahir saat jaman Majapahit. Pendapat ini mengacu pada bukti adanya tokoh dan cerita panji pada relief candi candi Jawa Timuran era Majapahit. Meski cerita panji sudah ada pada era Majapahit tetapi apakah cerita rakyat Ande Ande Lumut yang merupakan lingkup (varian) cerita Panji ini munculnya juga di jaman Majapahit? Penulis menemukan sumber yang memberi penjelasan berbeda tentang lahirnya cerita rakyat Ande-ande Lumut.
 Balai Desa dan Masjid Ngeblek

Dalam Kitab Badra Santi pada sub-Cerita Lasem (Babad Lasem) halaman 22 tertulis : Ing wektu kuwi wong-wong dhukuh Ngeblek seneng nggawe tontonlangen Emprak, kang dipandhegani dening tilas kepala brandhal ing dhukuh Lowah arane Ki Guntur. Sarehne sipate tontonan Emprak kuwi mung badhutan lan sesembiran kang banget mranani, mula R.P.A.A. Tejakusuma IV banjur melu cawe-cawe. Ki Guntur diajak ngowahi digawe lakon crita Panji Kedhiri, dadi diwuwuhi sifat kratonan kang nyeyontoni bab unggah-ungguh Kasusilan. Owah-owahan mau aran “Andhe-andhe Lumut”.
 Panorama sisi utara dari rute jalan menuju/keluar Desa Ngeblek
                           
Terjemahan kurang lebih sebagai berikut : Saat itu orang-orang dukuh Ngeblek suka mementaskan pertunjukan seni Emprak, yang diprakarsai oleh bekas kepala brandal (pemberontak kompeni Belanda) dari dukuh Lowah bernama Ki Guntur. Karena sifat pertunjukan Emprak itu hanya banyolan dan berbalas olok/guyon yang menarik, maka R.P.A.A. Tejakusuma IV lalu ikut menyumbang gagasan. Ki Guntur diajak merubah bentuk tontonan berbasis cerita Panji Kediri, memasukkan unsur kraton yang memberi pesan tentang tata susila. Perubahan isi pertunjukan tadi diberi nama “Andhe-andhe Lumut”.

Panorama sisi timur dari jalan Desa Ngeblek
                                             
Saat itu Kesultanan Mataram dipimpin oleh Sunan Amangkurat II. Sunan Amangkurat II bersekutu dengan kompeni Belanda sehingga sangat dibenci rakyatnya. Rakyat Lasem dibawah adipati Tejakusuma IV melakukan perlawanan. Para pelaku perlawanan ini umumnya adalah penganut Budha yang berpegang Kitab Badra Santi. Pelaku pemberontakan ini biasa disebut dengan istilah Brandal Lasem.

Watu Congol ruas rute jalan menuju/keluar Desa Ngeblek

Pelaku pemberontakan terdiri dari kerabat penguasa kadipaten Lasem, rakyat Lasem, Cina Lasem dan masyarakat keturunan Champa di Lasem. Para brandal berkumpul dan bersembunyi di suatu daerah tersembunyi lereng gunung Argopura Lasem. Daerah itu bernama dukuh Ngeblek. Untuk menghibur diri para gerilyawan ini membuat seni tontonan yang bersifat spontan, lugas, sederhana dan menghibur. Seni yang semula bernama Empak ini setelah mendapat sentuhan dari  R.P.A.A. Tejakusuma IV kemudian berubah menjadi Ande-ande Lumut seperti ditulis dalam Kitab Budha Badra Santi

Panorama sisi selatan dari rute jalan menuju/keluar Desa Ngeblek

Bagi yang penasaran mengunjungi Desa Ngeblek sangat disarankan terampil berkendara karena karakter jalan yang menanjak terjal, menurun curam menikung dan bersisian dengan jurang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar