Laman

Sabtu, 21 Mei 2016

Saminisme Dan Budhisme Kagok Ngaringan Grobogan

Gerakan Islamisasi di tanah Jawa oleh para Wali ternyata tidak menjadikan semua penganut keyakinan lama beralih ke agama Islam. Sampai sekarang ini kita masih bisa menjumpai komunitas suku asli Jawa yang memeluk agama Budha. Bahkan dibeberapa desa masih ada pemeluk agama Budha dengan jumlah yang mayoritas. Daerah dengan jumlah pribumi penganut Budha yang cukup banyak diantaranya Kragan, Lasem, Blora, Juwana, Pati, Jepara dan Grobogan.

Vihara Kagok tampak depan



Di Grobogan Jawa Tengah masih dapat dijumpai sebuah desa dengan penganut Budha dalam jumlah mayoritas. Tepatnya desa tersebut adalah dukuh Kagok, desa Ngarap-Ngarap, kecamatan Ngaringan, kabupaten Grobogan. Penganut Budha di dukuh ini mencapai 95%. Tempat peribadatan (vihara) di dukuh ini juga terlihat bagus sebagai petunjuk bahwa kegiatan keagamaan Budha warga Kagok terus terjaga.


Pada masa kolonialisme Belanda warga Kagok bukanlah pemeluk Agama Budha. Mereka secara tradisi adalah pemeluk Islam tradisional yang masih kental unsur budaya. Mengapa bisa terjadi perubahan Agama di dukuh Kagok? Ternyata penyebabnya adalah menyebarnya ajaran Samin yang berasal dari Blora ke wilayah Kagok. Selanjutnya dari Saminisme keyakinan warga Kagok berubah menjadi Budhisme.


SEKILAS SAMINISME
Ajaran Samin diciptakembangkan oleh Samin Surosentiko (Raden Kohar) pada tahun 1890. Samin (nama ini dipilih sebagai wujud kepemihakan pada rakyat) mengembangkan ajarannya mulai dari daerah Klopoduwur, Blora. Ajaran samin adalah keyakinan (kebatinan) dengan beberapa unsur (pengaruh) Hindu, Budha dan Islam.

Ajaran Samin meliputi banyak hal. Dalam hal hubungan manusia dengan Tuhan Saminisme mengajarkan konsep Manunggaling Kawula Gusti. Menurut Samin dalam menjalani hidup manusia harus menyadari sangkan paraning dumadi, yaitu menyadari darimana dia berasal (diciptakan) dan kemana akan kembali (akhirat). Dalam tataran implementatif Samin mengajarkan moral, perilaku, sikap dan tata ritual adat dalam kehidupan sehari-hari yang dirangkum dalam angger-angger (hukum). Buku-buku yang memuat 
ajaran samin diantaranya Jamus Kalimosodo, Uri-Uri Pambudi, Punjer Kawitan dan Pikukuh Kasejaten.

Samin bukan sekedar ajaran kebatinan. Samin juga sebuah gerakan politik dan perjuangangan dalam melawan kolonialisme Belanda. Selain di Blora gerakan perjuangan Samin menyebar di berbagai daerah sesuai dengan penyebaran pengikutnya. Tercatat gerakan Samin muncul di daerah Bojonegoro, Tuban, Rembang, Pati, Madiun, Grobogan dll. Kecamatan Jatirogo Tuban pernah menjadi tujuan penyebaran ajaran dan perjuangan Samin tetapi gagal karena sudah di cegah Belanda lewat propaganda dan hasutan negatif tentang Samin.

Perjuangan penganut Samin dalam menentang kolonialisme Belanda bukan dalam bentuk perjuangan angkat senjata. Perjuangan Samin menitikberatkan pada penyangkalan terhadap tiap kebijakan Belanda. Mereka menolak membayar pajak, kerja paksa, jaga malam dan memperbaiki jalan karena semua itu hanya menguntungkan Belanda. Penganut Samin merasa bebas menebang hutan (kegiatan yang menjadi larangangan kolonial Belanda) karena hutan bukan hak Belanda melainkan warisan nenek moyang orang Jawa.


                                      Salah satu rumah warga dengan hiasan simbol Budha

DARI SAMIN KE BUDHA
Warga dukuh Kagok yang awal mula menerima ajaran Samin yaitu mbah Dabur dan mbah Joyo Ranggin. Dari kedua tokoh itu kemudian warga Kagok banyak yang menerima ajaran Samin. Selanjutnya untuk memperdalam ajaran Samin warga Kagok seringkali pergi ngaji (belajar) ke Ploso Kedhiren Kecamatan Randublatung Blora.


Pada tahun 1968 ada program pendataan warga oleh pemerintah daerah Grobogan. Dalam pendataan itu warga Kagok mendapat pertanyaan mengenai agama yang mereka anut. Pilihan Agama yang disodorkan oleh pemerintah ada lima yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Masyarakat Kagok sepakat memilih agama Budha. Alasan mereka adalah ajaran Samin lebih sesuai atau seirama dengan agama Budha daripada keempat lainnya. Pada saat itulah semua warga Kagok tercatat  dan sekaligus menjadi pemeluk agama Budha.


Dalam usaha mendalami agama Budha yang baru dianut warga Kagok mengaji (belum ada paritta) agama Budha di Taunan dengan pembimbingnya Romo Sastro dari Wirosari. Pada tahun 1982 umat Budha dukuh Kagok baru mengenal paritta lewat ajaran ibu Sri Kuntini dari Semarang. Pelopor agama Budha dukuh Kagok masa itu adalah Mbah Karto Marji, Ratip, Pak Lasiman, Pak Domo, dan Pak Sukari. 
Cetiya Kagok berdiri Th.1982, sudah tak terpakai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar