Laman

Minggu, 17 April 2016

Membaca Ulang Serpihan Sejarah Kartini

Kartini lahir dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa. Ayah Kartini bernama R. Ario Sosroningrat bupati Jepara. Garis silsilah ayah Kartini terhubung dengan Hamengkubuwana VI dan masih trah bangsawan Majapahit. Ibunda Kartini bernama M.A Ngasirah putri dari Nyai Siti Aminah dan Kyai Madirono seorang guru agama di Telukawur Jepara.

Kartini Hidup pada masa kolonialisme Belanda dan feodalisme dengan sistem patriarki yang kuat. Namun Kartini beruntung hidup dalam keluarga yang berpikiran progresif. Kartini bisa mengenyam sistim pendidikan Barat sampai usia 12 tahun, sesuatu yang langka bagi pribumi apalagi sebagai seorang perempuan.


Pendidikan menjadi awal perubahan hidup seorang Kartini. Lewat pendidikan Kartini menerima tradisi baru yang cenderung liberal dalam berpikir. Lewat pendidikan Kartini juga mengetahui  pemikiran Barat yang lebih maju dan bergaul dengan orang-orang dengan pemikiran progresif. Momentum ini yang mendorong keinginan kartini untuk terus belajar.


Melanjutkan belajar ke negeri Belanda adalah keinginan Kartini. Usahanya yang keras mengantar Kartini mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke negeri  Belanda sesuai harapannya. Tetapi belenggu tradisi membuat Kartini menyerah.Kartini harus memasuki masa pingitan (persiapan wanita untuk menikah) dan memberikan beasiswa yang diperolehnya pada H Agus Salim (H Agus Salim akhirnya menolak beasiswa itu).

Kartini harus tunduk pada tradisi yang justru ditolaknya. Saat usia 12 tahun, usai menyelesaikan pendidikan Europese Lagere School  Kartini menjalani masa pingitan. Namun Kartini terus belajar madiri. Ia membaca banyak buku, menuangkan banyak gagasan dan berdikusi banyak hal lewat korespondensi dengan teman-temannya bangsa Belanda.

Feodalisme dan sistem patriarki mendapat penolakan yang kuat dalam pemikiran Kartini. Lewat surat-suratnya Kartini menyatakan kepedihannya sebagai perempuan Jawa saat itu. Belenggu tradisi telah menempatkan wanita Jawa dalam derajat yang rendah.Kartini menginginkan ruang kebebasan  dan kesempatan belajar yang luas bagi perempuan (emansipasi).

Setelah menikah dengan Bupati Rembang R. Ario Singgih DJojo Hadiningrat yang sudah beristri tiga, Kartini masih berusaha memperjuangkan gagasan-gagasannya. Beruntung sang suami mendukung keinginan Kartini. Bupati R. Ario Singgih DJojo Hadiningrat menyediakan Kartini ruang untuk kegiatan sekolah wanita yang dibinanya. Sekarang ruangan sekolah wanita tersebut menjadi Gedung Pramuka.
Yang menarik adalah gagasan dan perjuangan Kartini tentang emansipasi mendapat sambutan luar biasa di Belanda. Pemikiran Kartini mampu mengubah cara pandang bangsa Belanda terhadap perempuan pribumi. Seorang Belanda penganut Politik Etis, Van Deventer mendirikan yayasan Kartini sebagai penghormatan pada perjuangan Kartini. Yayasan ini mendirikan sekolah perempuan diberbagai kota (tahun 1912).

Ketika di Jawa gagasan Kartini kurang menggugah kaum pribumi, justru di Sumatra gagsan Kartini mendapat sambutan. Adalah Rahmah El Yunusiah terinspirasi gagasan Kartini dengan mendirikan pendidikan Diniyah Putri di Padangpanjang (tahun 1923). Pada perkembangannya Universitas Al Azhar Kairo mengadopsi model pendidikan Diniyah Putri ini dan menganugerahi Rahmah El Yunusiah gelar syeikhah.

Lebih dari pejuang emansipasi, Kartini adalah seorang nasionalis. Ia ikut dalam embrio Jong Java. Ia menentang perlakuan Kolonial belanda yang buruk terhadap pribumi. Ia menolak promosi Kolonial belanda untuk menanam opium di Jawa. Ia juga mengkritik pemerintah Kolonial yang membatasi pendidikan pada kaum pribumi. Nasionalisme Kartini sangat dihargai oleh tokoh perjuangan yang lain. W. R. Soepratman memberi penghormatan pada Kartini dengan mencipta lagu berjudul “Ibu Kita Kartini”.

Kartini seorang pribadi dengan nasionalisme, feminisme, humanisme dan egaliter. Sisi-sisi pribadi Kartini demikian menarik perhatian seorang sastrawan aliran realis sosialis ternama Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya Ananta Toer menulis biografi Kartini dengan judul “Panggil Aku Kartini Saja”. Ungkapan yang menarik dari Pramoedya Ananta Toer untuk Kartini adalah: “sastra menjadi kekuatan bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan dan kekuatan. Maka dengan mengarang lah Kartini bisa menunjukkan kekuatannya”


Kartini adalah sosok yang penuh semangat dan optimistis. Ia punya keyakinan bahwa gerakan kaum pribumi untuk bebas dari kolonialisme dan menjadi sederajat dengan bangsa kulit putih akan segera terwujud. Keyakinan itu terungkap dalam tulisannya “Kami terus bergerak, mereka tak bisa menghentikan jalan sejarah.... Sebuah perubahan besar akan bergemuruh di bumi kami. Perubahan itu pasti. Pasti datang.....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar