Laman

Rabu, 09 Maret 2016

Desakralisasi Gerhana Matahari Antara Ilmiah Dan Keyakinan

Setiap gejala alam yang tidak lazim/langka akan direaksi oleh hewan dan manusia yang terdampak. Bentuk reaksi yang muncul bisa sekedar reaksi balik terhadap rangsang/aksi sampai reaksi sebagai bentuk  usaha bertahan hidup. Tak terkecuali reaksi hewan dan manusia terhadap fenomena astronomi seperti gerhana matahari.

Saat gerhana matahari setiap hewan memberi reaksi yang beda sesuai dengan tingkat kecerdasan. Hewan tingkat rendah menganggap kurangnya cahaya akibat gerhana matahari sebagai tanda masuknya waktu malam. Jangkrik mengerik dan burung malam siap berburu. Sementara kuda tampak gelisah saat gerhana matahari tiba. Kuda menangkap suasana gerhana matahari sebagai saat masuk malam hari tetapi jam biologis kuda mengkonfirmasi bahwa waktu malam belum tiba. Reaksi kuda saat  menerima sinyal tubuh yang saling bertentangan tersebut adalah berupa sikap gelisah atau takut.


Bagaimana dengan manusia? Bentuk reaksi manusia saat gerhana matahari ditentukan banyak hal. Pasti akan beda reaksi yang ditunjukkan antara manusia kuno dengan modern, manusia sekuler dengan religius serta antara manusia yang telah mendapat pencerahan ilmiah dengan yang tidak.

Sebelum mendapat pencerahan ilmiah reaksi manusia terhadap gerhana matahari adalah adalah berupa insting bertahan hidup. Manusia bertanya-tanya, takut dan gelisah terhadap gejala alam yang diluar kebiasaan. Tetapi sebagai makhluk beradab/berpikir manusia punya penjelasan terhadap fenomena astronomi ini. Adapun penjelasan manusia banyak ragamnya. Manusia yang telah tercerahkan ilmiah akan memberi penjelasan yang berbeda dengan manusia yang awam atau manusia yang religius. Pun demikian penjelasan dengan basis religi akan beda antara penganut polytheis dengan monotheis.



Kegelisahan terhadap peristiwa gerhana matahari oleh penganut polytheis dijelaskan dan disikapi sesuai dengan sistem/doktrin keyakinannya. Mumculah ritual-ritual yang dihubungkan dengan Dewa-Dewa. Kegelisahan penganut monotheis dihubungkan kuasa prerogatif Tuhan terhadap alam termasuk memadamkan matahari. Munculah ritual yang mengarahkan manusia untuk senantiasa patuh pada Tuhan, memperbaiki akhlak dan iman.

Sebagian manusia modern memilih menggabungkan pengetahuan ilmiah dengan praktek religi. Selebihnya manusia modern memilih bersikap sekuler. Kelompok pertama menghadapi gerhana matahari dengan melakukan ritual keagamaan tanpa rasa takut dan cemas lagi. Kelompok kedua menikmati gerhana matahari  sebagai sensasi alam dan gaya hidup.

Berikut dialog fiktif tentang gerhana matahari antara tiga orang yaitu : Sekuler, Religius dan Bijak.

Sekuler    : “Ini fenomena astronomi yang langka. Sayang jika dilewatkan sensasinya maupun sisi ilmiahnya”
Religius    : “Semua ini adalah kuasa dan keagungan Tuhan. Inilah saatnya untuk bertobat dan  mempertebal iman bagi mereka yang mau berpikir”
Bijak         : “ Saudaraku! Kalau kalian sadar, setiap detik ada fenomena astronomi yang membuat       kita takjub dan tambah iman. Tak usah jauh-jauh. Atmosfir bumi kita setiap detik                                 menyaring cahaya matahari yang berpengaruh buruk pada kehidupan. Atmosfir bumi kita                     setiap detik melindungi kita dari hujaman banyak meteor. Jadi kita tak harus menunggu                       peristiwa langka seperti gerhana matahari atau bulan”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar