Laman

Selasa, 09 Februari 2016

Keruntuhan Majapahit Versi Babad Lasem

Majapahit begitu masyhur. Kerajaan yang menjadikan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai seloka ini memiliki sejarah dan peradaban yang berpengaruh kuat, sehingga orang sekelas Bung Karno, Bung Hata dan Moh. Yamin menaruh rasa bangga pada kerajaan besar tersebut. Keagungan Majapahit telah menjadi inspirasi dan pendorong rasa percaya diri pada bangsa ini saat melawan penjajah.

Keruntuhan Majapahit menjadi polemik yang panjang. Dalam tradisi Jawa, Majapahit yang bercorak Hindu Budha runtuh akibat pemberontakan kadipaten Demak yang menerapkan pemerintahan Islam. Majapahit dipimpin oleh Pr. Brawijaya V sedang Demak dipimpin R. Patah putra dari Brawijaya V sendiri. Majapahit runtuh tahun 1400 saka (1478 M) dengan sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bumi. Riwayat ini didukung oleh catatan sejarah ”tak resmi” semacam Babad Tanah Jawi, kronik dari klenteng Sam Po Kong dan Serat Darmo Gandul.


Namun catatan sejarah diatas masih dapat diperdebatakan. Catatan Tome Pires, orang portugis yang mendapat tugas observasi ke Jawa menyebutkan bahwa pada tahun 1513 M masih berdiri kerajan Majapahit di Daha (kediri). Demikian juga catatan pada prasasti petak.  Dalam prasasti tersebut tertulis 1486 M Raja Girindrawardana memegang kekuasaan Majapahit.

Catatan Dalam Babad Lasem

Ada catatan kuno yang bisa dipakai sebagai sumber kajian yang otentik dalam menelisik runtuhnya Majapahit. Buku itu adalah babad Lasem dalam kitab “Sabda Badra Santi”. Buku ini ditulis secara turun temurun oleh turunan Santi Badra. Santi Badra adalah pelaku langsung dari sejarah runtuhnya Majapahit. Santi Badra adalah tokoh Budha yang menjunjung tinggi seloka Bhineka Tunggal Ika.

Dalam babad Lasem pada Kitab Sabda Badra Santi mencatat cukup rinci saat huru-hara runtuhnya Majapahit. Tercatat ada empat tokoh penting yang berperan saat itu. Tokoh tersebut adalah Santi Badra sendiri, Pr. Kertabumi, Patih Kertadinaya, Tumenggung Warakjambon dan Adipati Girindrawardana dari Daha (kediri).

Santi Badra. Asal dari Lasem. Masih keturunan Majapahit dari putri Indu keponakan Hayam Wuruk. Santi Badra diambil menantu Sunan Bejagung Tuban. Menjabat adipati Tuban tetapi lebih banyak berada di kerajaan Majapahit karena ingin menyempurnakan ilmu agama Budha. Mendapat gelar Tumenggung Wilatikta dari Pr. Kertabumi karena perjuangannya dibidang seni budaya.

Santi Badra punya anak bernama Santkusuma. Santikusuma secara alami mendapat didikan agama Budha. Setelah remaja belajar agama Islam dari Sunan Bejagung kakek dari garis sang Ibu. Setelah belajar agama Rasul, Santikusuma mendapat nama Islam R. Sahid. Di kemudian hari R. Sahid menjadi Sunan Kalijaga.

Pr. Kertabumi. Memegang prinsip kebhinekaan. Saat berkuasa Majapahit dalam keadaan lemah akibat perang paregreg (perang saudara) yang berkepanjangan. Wilayah kekuasaan makin susut karena negara bawahan terutama yang sudah bercorak Islam banyak melepaskan diri. Memiliki istri dari Campa yang beragama Islam dimana oleh kelompok Islam dijadikan akses politik kedalam istana.

Patih Kertadinaya. Beragama Islam. Merasa Majapahit tidak sekuat negara dan kadipaten bawahan, terutama yang sudahbercorak  Islam. Ingin merebut kekuasaan dengan anggapan didukung pejabat negara yang beragama Islam, santri (dari wilayah Majapahit, Ampel dan Gresik) serta negara bawahan yang sudah Islam.

Perlu dicatat pada Saat itu ada dua kelompok yang ingin Majapahit tetap berdiri dengan asas kebhinekaan. Pertama adalah pemeluk Syiwa Budha baik pejabat negara maupun masyakat kecil. Yang kedua pejabat yang beragama Islam tetapi tetap ingin mempertahankan kedaulatan Majapahit yang berasaskan kebhinekaan. Jadi tidak semua pejabat negara Majapahit yang Islam Ingin mengubah Majapahit menjadi Kerajaan Islam

Warakjambon. Merasa sudah tidak nyaman dengan kondisi negara didominasi Islam, baik dalam pemerintahan maupun luar pemerintahan. Warakjambon Pindah agama dari Syiwa Budha menjadi beragama Tantrayana yang banyak dipeluk warga kadipaten Kediri. Secara politik dekat pada kadipaten Kediri yang dipimpin Girindrawardana.

Girindrawardana. Penguasa kadipaten Daha (Kediri) yang menjadi bawahan Majapahit. Punya keinginan merebut kekuasaan dan memindahkan pusat kekuasaan Majapahit keDaha. Selain karena melihat Majapahit di Trowulan sudah lemah Girindrawardana punya dendam dengan Majapahit karena leluhur Girindrawardana dibunuh oleh trah majapahit dari Pr. Kertabumi.

Diceritakan dalam Babad Lasem saat pagi buta pasukan Girindrawardana menyerang Majapait. Pasukan Majapahit yang tidak menduga datangnya musuh menjadi kocar-kacir. Pejabat Negara dibantai. Benteng dan istana dikuasai pasukan Girindrawardana.

Keadaan negara kacau. Prabu Kertabumi berhasil lolos dengan menyamar sebagai Sramana Budha berkepala gundul dan berjubah kuning. Santi Badra sempat tertahan tetapi bisa meloloskan diri. Pejabat Negara yang lolos dan masyarakat yang masih berpegang Syiwa Budha ada yang mengunsi ke Gn. Bromo. Sebagian lagi mengungsi ke Bali.

Pada saat genting tersebut Patih Kertadinaya dan Tumenggung Warakjambon tidak mengambil sikap untuk menyelamatkan negara. Justru saat seperti ini adalah keadaan yang mereka kehendaki. Keduanya punya rencana tersendiri untuk mengambil keuntungan dari peristiwa ini.

Yang aneh dalam kitab babad Lasem dijelaskan, usai perang  Patih Kertadinaya justru menjadi penguasa dalam mengadili para tahanan, baik pejabat maupun rakyat yang setia pada Pr. Kertabumi. Jika keterangan dalam kitab babad Lasem ini betul berarti Patih Kertadinaya ingin membersihkan orang-orang Pr. Kertabumi. Dengan demikian Majapahit di Trowulan jatuh dalam kekuasaannya sedang simbol kerajaan Majapahit diboyong Girindrawardana ke Kediri. (Mungkinkah ada main mata antara Patih Kertadinaya dengan Girindrawardana ?)


Dalam kitab babad Lasem kondisi Majapahit usai pemberontakan Girindrawardana tidak lagi diceritakan. Selanjutnya kitab ini menceritakan perjalanan Santi Badra dari meloloskan diri dari pemberontakan menuju kembali ke bumi Lasem. Memang kitab ini lebih berpusat pada riwayat Santi Badra dalam menggapai pencerahan yang kemudian ditulis dalam kitab Badra Santi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar