Majapahit begitu masyhur. Kerajaan yang menjadikan “Bhineka
Tunggal Ika” sebagai seloka ini memiliki sejarah dan peradaban yang berpengaruh
kuat, sehingga orang sekelas Bung Karno, Bung Hata dan Moh. Yamin menaruh rasa
bangga pada kerajaan besar tersebut. Keagungan Majapahit telah menjadi
inspirasi dan pendorong rasa percaya diri pada bangsa ini saat melawan
penjajah.
Keruntuhan Majapahit menjadi polemik yang panjang. Dalam
tradisi Jawa, Majapahit yang bercorak Hindu Budha runtuh akibat pemberontakan kadipaten
Demak yang menerapkan pemerintahan Islam. Majapahit dipimpin oleh Pr. Brawijaya
V sedang Demak dipimpin R. Patah putra dari Brawijaya V sendiri. Majapahit
runtuh tahun 1400 saka (1478 M) dengan sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bumi. Riwayat
ini didukung oleh catatan sejarah ”tak resmi” semacam Babad Tanah Jawi, kronik dari
klenteng Sam Po Kong dan Serat Darmo Gandul.
Namun catatan sejarah diatas masih dapat diperdebatakan.
Catatan Tome Pires, orang portugis yang mendapat tugas observasi ke Jawa menyebutkan
bahwa pada tahun 1513 M masih berdiri kerajan Majapahit di Daha (kediri).
Demikian juga catatan pada prasasti petak.
Dalam prasasti tersebut tertulis 1486 M Raja Girindrawardana memegang
kekuasaan Majapahit.
Catatan Dalam Babad Lasem
Ada catatan kuno yang bisa dipakai sebagai sumber kajian
yang otentik dalam menelisik runtuhnya Majapahit. Buku itu adalah babad Lasem dalam kitab “Sabda Badra
Santi”. Buku ini ditulis secara turun temurun oleh turunan Santi Badra. Santi
Badra adalah pelaku langsung dari sejarah runtuhnya Majapahit. Santi Badra
adalah tokoh Budha yang menjunjung tinggi seloka Bhineka Tunggal Ika.
Dalam babad Lasem pada Kitab Sabda Badra Santi mencatat cukup rinci saat huru-hara runtuhnya
Majapahit. Tercatat ada empat tokoh penting yang berperan saat itu. Tokoh
tersebut adalah Santi Badra sendiri, Pr. Kertabumi, Patih Kertadinaya,
Tumenggung Warakjambon dan Adipati Girindrawardana dari Daha (kediri).
Santi Badra. Asal dari Lasem. Masih keturunan Majapahit dari
putri Indu keponakan Hayam Wuruk. Santi Badra diambil menantu Sunan Bejagung
Tuban. Menjabat adipati Tuban tetapi lebih banyak berada di kerajaan Majapahit
karena ingin menyempurnakan ilmu agama Budha. Mendapat gelar Tumenggung Wilatikta
dari Pr. Kertabumi karena perjuangannya dibidang seni budaya.
Santi Badra punya anak bernama Santkusuma. Santikusuma
secara alami mendapat didikan agama Budha. Setelah remaja belajar agama Islam
dari Sunan Bejagung kakek dari garis sang Ibu. Setelah belajar agama Rasul, Santikusuma
mendapat nama Islam R. Sahid. Di kemudian hari R. Sahid menjadi Sunan Kalijaga.
Pr. Kertabumi. Memegang prinsip kebhinekaan. Saat berkuasa
Majapahit dalam keadaan lemah akibat perang paregreg (perang saudara) yang
berkepanjangan. Wilayah kekuasaan makin susut karena negara bawahan terutama
yang sudah bercorak Islam banyak melepaskan diri. Memiliki istri dari Campa
yang beragama Islam dimana oleh kelompok Islam dijadikan akses politik kedalam
istana.
Patih Kertadinaya. Beragama Islam. Merasa Majapahit tidak
sekuat negara dan kadipaten bawahan, terutama yang sudahbercorak Islam. Ingin merebut kekuasaan dengan anggapan
didukung pejabat negara yang beragama Islam, santri (dari wilayah Majapahit,
Ampel dan Gresik) serta negara bawahan yang sudah Islam.
Perlu dicatat pada Saat itu ada dua kelompok yang ingin
Majapahit tetap berdiri dengan asas kebhinekaan. Pertama adalah pemeluk Syiwa
Budha baik pejabat negara maupun masyakat kecil. Yang kedua pejabat yang
beragama Islam tetapi tetap ingin mempertahankan kedaulatan Majapahit yang
berasaskan kebhinekaan. Jadi tidak semua pejabat negara Majapahit yang Islam
Ingin mengubah Majapahit menjadi Kerajaan Islam
Warakjambon. Merasa sudah tidak nyaman dengan kondisi negara
didominasi Islam, baik dalam pemerintahan maupun luar pemerintahan. Warakjambon
Pindah agama dari Syiwa Budha menjadi beragama Tantrayana yang banyak dipeluk
warga kadipaten Kediri. Secara politik dekat pada kadipaten Kediri yang
dipimpin Girindrawardana.
Girindrawardana. Penguasa kadipaten Daha (Kediri) yang
menjadi bawahan Majapahit. Punya keinginan merebut kekuasaan dan memindahkan pusat
kekuasaan Majapahit keDaha. Selain karena melihat Majapahit di Trowulan sudah lemah
Girindrawardana punya dendam dengan Majapahit karena leluhur Girindrawardana
dibunuh oleh trah majapahit dari Pr. Kertabumi.
Diceritakan dalam Babad Lasem saat pagi buta pasukan
Girindrawardana menyerang Majapait. Pasukan Majapahit yang tidak menduga
datangnya musuh menjadi kocar-kacir. Pejabat Negara dibantai. Benteng dan
istana dikuasai pasukan Girindrawardana.
Keadaan negara kacau. Prabu Kertabumi berhasil lolos dengan
menyamar sebagai Sramana Budha berkepala gundul dan berjubah kuning. Santi
Badra sempat tertahan tetapi bisa meloloskan diri. Pejabat Negara yang lolos dan
masyarakat yang masih berpegang Syiwa Budha ada yang mengunsi ke Gn. Bromo.
Sebagian lagi mengungsi ke Bali.
Pada saat genting tersebut Patih Kertadinaya dan Tumenggung
Warakjambon tidak mengambil sikap untuk menyelamatkan negara. Justru saat
seperti ini adalah keadaan yang mereka kehendaki. Keduanya punya rencana
tersendiri untuk mengambil keuntungan dari peristiwa ini.
Yang aneh dalam kitab babad Lasem dijelaskan, usai
perang Patih Kertadinaya justru menjadi
penguasa dalam mengadili para tahanan, baik pejabat maupun rakyat yang setia
pada Pr. Kertabumi. Jika keterangan dalam kitab babad Lasem ini betul berarti
Patih Kertadinaya ingin membersihkan orang-orang Pr. Kertabumi. Dengan demikian
Majapahit di Trowulan jatuh dalam kekuasaannya sedang simbol kerajaan Majapahit
diboyong Girindrawardana ke Kediri. (Mungkinkah ada main mata antara Patih
Kertadinaya dengan Girindrawardana ?)
Dalam kitab babad Lasem kondisi Majapahit usai pemberontakan
Girindrawardana tidak lagi diceritakan. Selanjutnya kitab ini menceritakan
perjalanan Santi Badra dari meloloskan diri dari pemberontakan menuju kembali
ke bumi Lasem. Memang kitab ini lebih berpusat pada riwayat Santi Badra dalam
menggapai pencerahan yang kemudian ditulis dalam kitab Badra Santi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar